Stress Pada Atlet
Stress merupakan salah satu topik yang sering menjadi kajian dalam psikologi olahraga, terutama kaitannya dengan performa atlet dalam situasi kompetisi (Lazarus,2000, Jarvis 2006, Bali 2015). Menurut Mellaleu Dkk (2009) mengemukakan stress sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi emosi dan fisik atlet, baik yang berasal dari luar diri maupun yang berasal dari dalam diri atlet itu sendiri. dan lebih lanjut stress merupakan bentuk respon yang dirasakan oleh atlet karena di hadapkan dengan berbagai tantangan yang ada dalam upaya meraih prestasi.
Senada dengan pendapat di atas, Fletcher (2009) menjelaskan bahwa stress adalah suatu respon terhadap tuntutan-tuntutan, baik yang berasal dari lingkungan maupun diri sendiri yang berhubungan dengan performa atlet dalam kompetisi. Mahendrawati (2016) menambahkan bahwa bentuk respon tersebut berupa ketegangan fisik,fisiologis dan mental.
Stres sering disalahpahami sebagai sesuatu yang merugikan karena diidentikkan dengan emosi-emosi negatif atlet sehingga mengganggu performanya. Namun, tidak demikian adanya. Stres tidak selalu bersifat negatif dan merugikan (Gustafsson, 2007). Sebaliknya, stres dapat bersifat positif dan menguntungkan karena mampu memfasilitasi performa atlet dan membantunya beradaptasi dengan tantangan-tantangan yang ada dalam kompetisi (Lazarus, 2000). Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa ada dua tipe stres. Pertama, stres positif yang menguntungkan. Sementara tipe kedua adalah stres yang merugikan.
Seperti halnya definisi stres, istilah yang digunakan untuk merujuk kedua tipe stres tersebut pun berbeda-beda. Selye (dalam Lazarus, 2000) menyebutnya eustress dan distress. Sementara Lazarus dan Folkman (1984) menggunakan istilah treat dan challenge untuk merujuk pada tipe yang sama. Lazarus (2000) menjelaskan bahwa pembagian tipe stres menurut Selye didasarkan pada pengaruh stres terhadap kesehatan, kemampuan adaptasi, dan well-being, sedangkan fokus Lazarus dan Folkman dalam menjelaskan stres lebih spesifik pada pengaruh aspek psikologis tersebut terhadap performa atlet dalam situasi tertentu, misalnya kompetisi. Meskipun memiliki perbedaan, sebetulnya ada kesamaan pula antara tipe-tipe stres menurut Selye serta Lazarus dan Folkman. Kesamaan ini membuat kedua pembagian tipe tersebut menjadi memiliki “hubungan” pula, yakni penjelasan mengenai tipe stres yang menguntungkan dan merugikan atlet.
Bentuk stres yang positif (baik disebut eustress maupun challenge) menguntungkan bagi atlet karena membuat atlet mampu mempertahankan motivasi dan daya juangnya untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang menghadangnya dalam mencapai prestasi olahraga. Atlet memandang stresor yang ada bukan sebagai sesuatu yang mengancam usahanya dalam meraih prestasi, melainkan sebagai suatu hal yang menantang; yang jika dia mampu taklukkan maka akan memfasilitasi kemajuan dalam kemampuan dan performanya.
Bentuk stres yang kedua, yang bersifat negatif (baik disebut distress maupun threat) merugikan bagi atlet karena menyebabkan emosi negatif atlet meningkat sementara emosi positifnya menurun. Kondisi ini menyebabkan performa atlet menjadi terganggu dan atlet mengalami kesulitan dalam meraih prestasi. Kebalikan dari bentuk stres yang pertama, pada bentuk stres ini, atlet memandang stresor, misalnya situasi kompetisi, sebagai sesuatu yang mengancam dirinya dan berpotensi membuat performanya tidak sebagus yang diharapkan. Oleh karena itu, atlet mengalami peningkatan emosi negatif, seperti kecemasan, marah, dan agresi.
Selain dibagi menjadi dua tipe berdasarkan dampaknya; apakah menguntungkan atau merugikan, stres juga dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan durasi kondisi itu dialami oleh atlet (Payne & Hahn, 2010; Bali, 2015). Ketiga tipe tersebut adalah stres akut, stres episodik, dan stres kronis. Stres akut adalah stres yang terjadi dalam durasi yang singkat dan biasanya terjadi beberapa saat setelah atlet terpapar suatu stresor. Meskipun begitu, stres akut dapat berubah menjadi stres episodik atau stres kronis dan mengganggu performa atlet, terutama ketika atlet berulang kali terpapar stresor yang sama secara rutin dalam waktu yang lama sehingga dia sering mengalami stres akut. Stres episodik adalah stres yang berlangsung lebih lama daripada stres akut, yakni sebelum hingga sesudah suatu kejadian atau peristiwa terjadi, seperti pertandingan atau kompetisi tertentu. Stres kronis adalah stres dengan durasi paling lama dibandingkan dua tipe stres lainnya dan tentu saja memiliki dampak merusak dan mengganggu lebih besar terhadap atlet.
Teknik-teknik Latihan Mental untuk Manajemen Stres
Ketika coping stres tidak lagi dapat digunakan untuk mengatasi stres atlet, maka manajemen stres dapat diajarkan kepada atlet. Manajemen stres adalah suatu keterampi-lan yang menjadikan atlet mampu mengelola stres yang dirasakannya (Smith dalam Marhendrawati, 2016). Keterampilan tersebut tidak serta merta dimiliki oleh atlet sebagai bakat yang diwariskan, namun merupakan kemampuan yang diajarkan atau dilatihkan. Manajemen stres dapat berupa latihan-latihan fisik, teknik, taktik, ataupun kognitif. Akan tetapi, teknik latihan mental juga penting untuk dilakukan; terutama saat atlet cenderung menggunakan jenis coping stres berupa emotion-focused coping. Alih-alih menghindari stresor agar dia tidak merasakan emosi-emosi negatif dan/atau emosi positifnya menurun, dengan melatih atlet beberapa teknik latihan mental, dia dapat memanajemen emosinya dengan cara yang lebih baik. Di sini dia tidak serta merta menghindar agar perasaannya menjadi lebih baik, melainkan dia menghadapinya dengan meningkatkan emosi positif dan mengelola emosi-emosi negatifnya tersebut.
Terdapat beberapa teknik latihan mental yang dapat digunakan untuk memanajemen stres yang dirasakan oleh atlet (Rumbold, Fletcher, Daniels, 2012; Jarvis, 2006). Di antaranya sebagai berikut:
- Relaksasi
Latihan relaksasi memiliki manfaat untuk mengurangi ketegangan fisiologis dan fisik atlet yang pada akhirnya turut meminimalkan ketegangan mental yang atlet rasakan. Pada dasarnya, sebelum memulai melakukan jenis-jenis latihan mental lainnya, atlet terlebih dahulu harus melakukan relaksasi agar tubuh dan pikirannya dapat tenang dan fokus untuk menjalankan prosedur latihan mental tersebut dengan baik. Setidaknya terdapat dua jenis teknik latihan relaksasi yang sering digunakan dalam latihan mental, khususnya untuk manajemen stres. Pertama adalah progressive muscle relaxation, sedangkan yang kedua adalah autogenic training (Jannah, 2016).
Stres mempengaruhi kondisi fisik dan fisiologis atlet, yakni otot-otot atlet menjadi tegang. Sementara itu, ketegangan otot-otot tersebut dapat membuat atlet merasa semakin stres dan cemas (Davis, Eshelman, & McKay, 2008). Jannah (2016) menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena mental tidak hanya mempengaruhi kondisi fisik dan fisiologis atlet, namun sebaliknya fisik dan fisiologis atlet juga turut mempengaruhi kondisi mental atlet. Berangkat dari asumsi itulah, maka prosedur progressive muscle relaxation dibuat (Jannah, 2016).
Progressive Muscle Relaxation merupakan teknik latihan mental yang dilakukan dengan cara membuat otot menjadi tegang dan kemudian menjadikannya rileks (Komarudin, 2013). Dari definisi tersebut, terangkum dua komponen utama dalam prosedur progressive muscle relaxation. Komponen pertama adalah membuat otot menjadi tegang yang disebut dengan systematic tensing dan komponen kedua ialah merilekskan otot yang tadi dibuat tegang yang disebut dengan relaxing of various muscle group (Komarudin, 2013; Jannah, 2016).
Autogenic training adalah teknik latihan mental yang juga termasuk dalam latihan relaksasi. Oleh karena itu, autogenic training memiliki kesamaan dengan progressive muscle relaxation. Di antaranya dalam prosedur keduanya terdapat teknik visualisasi, relaksasi, dan verbalisasi (Jannah, 2016; Suter, 2014, Kogler, 1993). Selain itu, autogenic training juga memiliki persamaan dengan teknik latihan mental lain, yakni self-hypnosis yang sama-sama menggunakan relaksasi untuk mencapai kondisi alfa (Takaishi, 2000). Meskipun begitu, dalam prosedur autogenic training tidak menggunakan pemberian sugesti (Welz, 1991) melainkan autosuggestion yang dikembangkan dari Mantra Yoga (Kogler, 1993) untuk enam komponen dalam prosedurnya. Keenam komponen dalam prosedur autogenic training, yakni heaviness in the extremities, warmth in the extremities, regulation of cardiac activity, regulation of breathing, abdominal warmth, dan cooling of the forehead (Bhambri dan Dhillon, 2008; Suter, 2014). Berbeda dengan prosedur progressive muscle relaxation yang membuat otot-otot menjadi tegang dan kemudian menjadikannya rileks, dalam autogenic training yang ditekankan adalah sensasi berat, hangat, dingin, dan rileks pada tiap anggota tubuh sesuai urutan dalam prosedurnya.
- Hipnosis
Pada dasarnya, hipnosis merupakan teknik latihan mental yang dalam prosedurnya terdapat pemberian sugesti saat atlet berada dalam kondisi alfa. Sama seperti hipnosis pada umumnya, selfhypnosis juga menekankan pemberian sugesti dan pencapaian kondisi alfa dalam tiap prosedurnya. Self-hypnosis merupakan tindakan melakukan prosedur hipnosis tanpa melibatkan orang lain sebagai hypnotist (Stevenson, 2009; Jannah, 2016). Jadi diri sendirilah yang memberikan sugesti-sugesti tersebut.
- Imagery Training
Imagery adalah keterampilan memvisualisasikan suatu pengalaman di dalam pikiran (Setyawati, 2014; Komarudin, 2013). Dalam konteks olahraga, biasanya pengalaman-pengalaman yang divisualisasikan adalah yang berhubungan dengan performa atlet di lapangan, baik saat latihan maupun pertandingan. Contoh dari pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah atlet membayangkan dirinya mampu melakukan beberapa gerakan olahraga yang sebelumnya sulit dia praktikkan, dapat mempraktikkan berbagai teknik dan taktitk dalam situasi pertandingan, serta memiliki keterampilan psikologis untuk menjadikan tekanan dan tuntutan yang dia rasakan sebagai sebuah tantangan yang menggugahnya untuk menampilkan performa optimal dan bukan sebagai ancaman yang membuatnya stres dan cemas.
- Self-Talk
Self-talk adalah verbalisasi atau dialog internal yang dilakukan dan ditujukan kepada diri sendiri (Smith & Kays, 2010; Hardy & Hall, 2006). Dialog internal tersebut dapat berupa pernyataan atau kalimat yang positif ataupun negatif; masing-masing disebut dengan positive self-talk dan negative self-talk (Jannah, 2016; Komarudin, 2013). Positive self-talk adalah bentuk self-talk yang positif, mendukung, dan memotivasi atlet. Kata-kata yang digunakan dalam positive self-talk misalnya “aku yakin aku bisa menang hari ini”, “aku bisa mengalahkan lawanku”, atau “aku adalah atlet yang hebat”. Sementara itu, negative self-talk dicirikan dengan kalimat pernyataan yang sifatnya negatif dan mengkritik atlet. Contohnya, “aku adalah atlet gagal”, “performaku pasti buruk”, atau “aku akan kalah”.
Positive self-talk dan negative self-talk memiliki pengaruh berbeda pada atlet. Smith dan Kays (2010) menjelaskan bahwa melakukan positive self-talk dapat menjadikan mood dan emosi atlet turut positif pula. Atlet menjadi rileks, percaya diri, dan enjoy dalam berlatih serta bertanding. Sedangkan negative self-talk sebaliknya. Negative self-talk membuat emosi negatif atlet menjadi meningkat sehingga dia menjadi semakin rentan mengalami stres (Iswari & Hartini, 2005; Jannah, 2016).
Berkaitan dengan latihan mental untuk meningkatkan performa, dalam latihan self-talk, atlet dilatih untuk meningkatkan frekuensi penggunaan positive self-talk dan mengurangi negative selftalk. Selain itu, atlet juga dilatih untuk mengasah kepekaan dalam mengenali situasi dan kondisi apa yang menjadi stresor baginya sehingga dia reflek melakukan negative self-talk. Kepekaan ini selanjutnya membuat atlet menjadi dapat mengubah negative self-talk tersebut menj adi positive self-talk.
- Meditasi
Meditasi merupakan teknik latihan yang digunakan untuk meregulasi emosi dan fokus (Gunaratana, 2002). Meskipun meditasi sering dikaitkan dengan praktik keagamaan tertentu, namun dalam konteks psikologis, meditasi telah digunakan sebagai teknik latihan mental, terutama karena manfaatnya dalam menenangkan, serta membuat individu mendapatkan insight mengenai kehidupannya sehingga dapat mencapai kondisi well-being.
Salah satu jenis meditasi adalah mindfulness meditation, yakni suatu latihan meditasi yang dapat meningkatkan fokus dan kesadaran terhadap pengalaman atau peristiwa yang sedang terjadi tanpa melibatkan pemberian kritik terhadapnya (Salmon, dkk., 2004; Brown dalam Goodman, 2009). Bishop, dkk. (2004) menjelaskan bahwa ada dua komponen dalam prosedur mindfulness meditation, yaitu self-regulation of attention dan orientation to experience. Selfregulation of attention adalah kemampuan atlet dalam meregulasi emosi dan perhatian, termasuk dalam mengasah kepekaannya mengenai kondisi emosional, pikiran, dan sensasi fisik yang dia rasakan. Dengan begitu, atlet dapat menenangkan pikiran dan perasaannya ketika emosi negatifnya mulai meningkat dan fokusnya terganggu sehingga dia mampu menjaga emosinya tetap positif dan perhatiannya terfokus pada satu hal dalam satu waktu. Orientation to experience adalah komponen kedua dalam prosedur mindfulness meditation. Pada komponen ini, atlet dilatih agar mampu menerima pengalaman yang sedang terjadi secara objektif, terbuka, dan tanpa memberikan kritik terhadapnya (Jekauc, Kittler, & Schlagheck, 2017) sehingga atlet lebih tahan terhadap paparan stresor dan tidak rentan mengalami distress.
- Goal setting
Goal setting adalah suatu keterampilan merumuskan tujuan- tujuan yang ingin dicapai dalam periode waktu tertentu (Weinberg, 2004; Komarudin, 2013). Adanya batas waktu dalam perumusan tujuan tersebut membuat atlet lebih terpacu untuk mencapainya dengan tetap konsisten menjaga komitmennya dalam berlatih dan berusaha (Bell & Pou, 2009; Fannin, 2005). Berkaitan dengan latihan mental, goal setting melatih atlet untuk mengetahui tujuan-tujuan perbaikan dan kemajuan dalam karirnya sebagai seorang atlet serta usaha apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan keinginan itu.
Terdapat tiga jenis tujuan berdasarkan tenggat waktu kapan tujuan-tujuan yang telah dirumuskan ingin dicapai; apakah dalam waktu beberapa minggu, bulan, atau tahun, yaitu tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah, dan tujuan jangka panjang (Locke dan Latham dalam Weinberg & Butt, 2011; Komarudin, 2013; Davies, 2005). Tujuan jangka pendek adalah tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu singkat, misal beberapa hari atau beberapa minggu. Tujuan jangka menengah adalah tujuan yang ingin dicapai dalam waktu yang lebih lama daripada tujuan jangka pendek namun tidak selama tujuan jangka panjang. Tujuan jangka panjang adalah tujuan paling besar yang diinginkan atlet untuk dicapai. Maka dari itu, tenggat waktu untuk tujuan jangka panjang lebih lama daripada dua jenis tujuan lainnya seperti dalam beberapa tahun. Perbedaan antara tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah, dan tujuan jangka panjang selain terletak pada tenggat waktu, juga pada seberapa penting dan besar tujuan tersebut. Oleh karenanya, tujuan jangka panjang biasanya merupakan tujuan paling besar yang diinginkan atlet, semisal ingin mendapatkan medali emas di ajang Olimpiade. Namun, karena tujuan jangka panjang membutuhkan waktu lama untuk dicapai dan usaha yang lebih besar daripada pencapaian tujuan-tujuan yang lebih kecil, maka agar atlet tetap menjaga komitmen dan motivasinya, tujuan tersebut dipecah menjadi tujuan jangka menengah dan tujuan jangka pendek. Di sini tujuan jangka menengah dan tujuan jangka pendek berperan sebagai reward bagi atlet untuk tetap berusaha meraih tujuan jangka panjang tersebut (Sport New Zealand [SNZ], 2007).
Suber Bacaan : Miftahul Jannah. Psikologi Olahraga (Student Handbook). 2017
Tugas Mandiri Mahasiswa :
Kepada seluruh mahasiswa.
- Tulislah 10 pertanyaan terkait dengan stres pada atlet .
- Buatkan 1 contoh kasus strees pada atlet.